Kamis, 07 Juni 2012

Andragogi

1. Pengertian Teori Belajar Andragogi
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno: "aner" yang berarti orang dewasa, dan agogus yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing atau memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training/Teaching). 

 
2.     Perkembangan Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" yang diterbitkan pada tahun 1970 mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi, yang digunakan dalam kegiatan belajar adalah Pedagogi. Konsep ini menempatkan murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di setup oleh sistem pendidikan, di setup oleh gurunya/pengajarnya. Apa yang dipelajari, materi yang akan diterima, metode panyampaiannya, dan lain-lain, semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Sedangkan dalam Andragogy ini, kita mengenal istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan. Liberalisme pendidikan bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi  persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif. Liberasionisme pendidikan adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin.

3.     Asumsi-Asumsi Pokok Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles (1970) dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
a.    Konsep Diri: Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
b.    Peranan Pengalaman: Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman). Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
c.     Kesiapan Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.
d.    Orientasi Belajar: Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.


Daftar pustaka:
http://www.oocities.org/teknologipembelajaran/andragogi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Andragogi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar